Jonathan
Aku terus berlari, mengandalkan sepasang kaki yang terasa sedingin orang mati. Persetan dengan carik-carik napas yang terkoyak karena letih, pun dengan rasa sakit yang mengaum-aum di jemari. Hanya harus berlari mendahului waktu yang bisa saja mengering. Hanya harus menyejajarkan langkah dengan brankar yang didorong bergegas-gegas di sepanjang lorong putih ini. Bukan saatnya bagiku untuk berhenti sekalipun brankar itu telah didorong masuk ke dalam ruang gawat darurat, bertaruh untuk hidup atau mati.
“Maaf, anda tidak boleh masuk,” sergah seorang perawat di depan pintu.
Namun, aku berlagak tuli dan tidak menghentikan langkah kaki. Perawat itu bergeming dan aku mengambil detik yang tepat untuk berhenti, beberapa senti di hadapannya sebelum tubuh kami saling menyentuh.
“Aku harus masuk!” bantahku dengan garang.
Perawat itu melangkah mundur dan menatapku dengan ketakutan. Sejenak kemudian, ia menggeleng dengan gerakan yang kaku dan berkata, “ini sudah menjadi peraturan.”
“Peraturan, katamu?!” salakku tidak tahan, entah kepada perawat itu atau kepada peraturan yang telah membatu. Aku tidak mau tahu dan menarik langkah untuk masuk. Akan tetapi, perawat itu maju selangkah dan memaksa langkahku untuk membeku.
“Anda benar-benar tidak boleh masuk,” ia menegaskan.
Gigiku bergemelutuk, sepakat untuk merutuk. “Kau!” Aku geram, nyaris menerjang perawat itu dan menerobos masuk kalau saja tidak ada yang cepat-cepat menahanku.
“Tenanglah, Nak.”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria asing sedang berdiri di sana. Ia tersenyum prihatin dan menepuk pundakku dua kali. “Tenanglah,” ia mengulangi.
Dan ketika aku kembali menatap perawat itu, aku mencoba untuk lebih tenang semampuku.
“Saya mohon…” kataku mengiba. “Saya… saya bisa memasang kantung darah, membersihkan lukanya, membawakan ini-itu,” sebutku dengan cepat sampai napasku tercekat. Aku menelan ludah dengan susah, lalu, “apa saja, untuk menyelamatkannya,” desahku dengan suara parau.
Namun apa pun yang aku katakan, seberapa pun aku mengiba, peraturan tampaknya akan selalu menjadi sesuatu yang haram untuk dilanggar. Maka, perawat itu tetap menggeleng. “Maaf, anda tetap tidak boleh masuk,” ucapnya dengan nada menyesal. Ia coba tersenyum menenangkanku, dan, “berdoalah,” pesannya sebelum melangkah masuk dan menghilang di balik pintu.
Aku menyentuh daun pintu dengan tangan yang gemetar dan berlumuran darah. Sesaat aku berdiri dengan limbung sebelum akhirnya rubuh ke atas lantai di dekat pintu. Semua yang aku lakukan kemudian hanyalah meneteskan doa. Sampai akhirnya ia datang, yang aku teteskan pun tidak lagi hanya doa, namun juga air mata.
Hanya di depannya, aku tidak perlu berpura-pura.
“Aku takut,” aku mengaku kepadanya.
***
Vesellia
Aku tidak tahu lagi bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan apa yang aku rasakan sekarang. Rasa sesak memberatkan napas. Rasa takut merayu jantung berdebar cepat dengan lancang. Rasa bingung membuat pikiran melayang-layang, antara mengkhawatirkan kondisi Sam dan enggan membayangkan apa jadinya Jo sekarang.
Aku berhenti berlari, mengambil jarak sekitar satu langkah dari Jo. Semua bayangan tentang Jo yang sempat aku susun dalam kepala seketika menyusut, lantas luruh menjadi remah-remah. Seburuk-buruknya kemungkinan yang sudah aku terka, melihatnya duduk di atas lantai dengan pandangan kosong adalah yang paling buruk. Sejenak aku hanya berani memperhatikannya dari tempatku berdiri. Lantas, ketika aku hendak mendekat, sebuah suara memaksaku untuk mengurungkan niat.
“Anda yang bernama Magentha?”
Aku menoleh ke samping kiri, lalu menggeleng untuk pria yang baru saja bertanya. “Saya Vesellia, teman Magentha. Anda yang…”
Pria itu menyela dengan anggukan kepala. “Ya, saya yang menghubungi Nona Magentha. Nomor ponselnya ada di daftar panggilan terakhir ponsel korban,” ia menjelaskan.
Aku mengangguk mengerti. Aku menimbang-nimbang sepintas, membuka mulut untuk menanyakan sesuatu, namun mengatupkannya kembali tanpa sempat bersuara. Aku terlalu takut untuk menerima jawabannya.
“Keadaan korban tidak baik kalau itu yang ingin anda tanyakan,” kata pria itu dengan nada menyesal. “Dia sempat terjebak di dalam mobil,” imbuhnya. Pria itu kemudian menunjuk Jo, dan, “teman anda yang di sana yang mengeluarkannya. Dia memecahkan kaca mobil dengan tangannya,” paparnya.
Aku beralih memperhatikan Jo kembali. Tahu-tahu saja napasku tercekat saat aku menelusuri susunan jemarinya yang bermandikan darah. Pelan-pelan aku menekuk jarak, lalu berjongkok di dekatnya.
“Jo,” panggilku. Jo tidak menyahut.
Aku lantas menggerakan tangan yang gemetar, menyentuh jemarinya dengan sejumput gentar. “Jo,” aku memanggilnya lagi. Meski kali ini ia tetap tidak menyahut, namun setidaknya ia berhenti menunduk dan menoleh sedikit ke aku.
“Se-semuanya akan baik-baik saja,” kataku terbata-bata meski dengan ragu yang berbongkah.
Jo tidak berkata apa-apa. Kesadarannya mengambang-ambang dengan sorot mata yang menerawang. Rasanya begitu lama ia seperti itu sampai akhirnya ia mengucapkan sesuatu dengan suara yang saru.
“Aku takut.”
Lalu, Jo menangis.
Aku menutup mulut dan menekannya kuat-kuat dengan tangan, berusaha mencegah isakkanku merembes keluar meski akhirnya terdengar juga di sela-sela desah aksara. “Jangan menangis,” desahku dengan bibir yang bergetar. Dengan sebelah tangan yang bebas, aku menyingkirkan air mata dari wajah Jo.
Lalu, aku memeluknya dan tahu-tahu ikut menangis.
Tuhan, sedetik pun aku tidak ingin ia terluka…
***
Mai tiba beberapa menit kemudian, disusul oleh kedua orangtua Sam.
Aku menjelaskan kepada mereka tentang keadaan Sam sebisaku. Mereka tampak terpukul. Mai dan Tante Ellana menangis sementara Oom Herman berusaha keras untuk tegar dan menenangkan istrinya. Dan untuk Mai, aku pun begitu—berusaha tegar dan menenangkannya. Lantas, ketika semuanya berangsur-angsur lebih tenang, pria yang tadi menghubungi Mai pun buka suara.
“Korban lain dalam kecelakaan ini memakai seragam sekolah yang sama dengan yang teman anda pakai.”
Aku bertanya, “seragam sekolah yang sama?” sambil mengangkat sebelah alis.
Pria itu mengangguk. “Saya sempat melihat tanda pengenal di seragamnya. Kalau tidak salah, namanya…” pria itu tampak mengingat-ingat sebentar, lalu dengan agak ragu, ia menyebutkan sebuah nama.
Dan nama itu pun menjadi alasan kenapa mataku terbelalak tiba-tiba. Selama beberapa detik, aku lupa bagaimana cara yang tepat untuk bernapas.
Apa-apaan ini?
“Asta Rakafka?” aku bertanya untuk memastikan.
Dan pria itu mengangguk. “Anda mengenalnya?”
***
Magentha
Aku tidak tahu alasan tepatnya, namun Ve bergegas beranjak setelah pria yang tadi menghubungiku memberitahunya sesuatu tentang korban lain dalam kecelakaan yang dialami Sam. Aku sempat memanggilnya, namun itu tidak cukup untuk menahannya. Ve tetap berlalu dengan langkah yang tergesa-gesa.
Aku menoleh ke samping kanan dan mendapati Jo masih seperti tadi. Ia masih duduk dengan lesu dan meremas-remas tangannya. Sinar matanya yang terampas entah ke mana belum juga pulang. Sepi mencumbui kedua matanya.
Aku bernapas sebaik mungkin, lalu menggenggam tangan Jo sekejap, memberinya sedikit kekuatan yang sebenarnya juga aku perlukan. Tanpa berkata apa-apa, aku kemudian bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke kamar kecil untuk membasuh wajah. Sepanjang perjalanan aku lalui dengan setengah melamun. Maka, tidak heran saat aku menabrak tubuh lain dan nyaris terjatuh.
“Maaf, aku tidak senga…” aku menegadah sedikit dan gumamanku pun terhenti. Aku melipat kening dan menatap pria di hadapanku dengan tatapan bertanya-tanya. “Chris?”
Chris terlihat sama terkejutnya dengan aku.
“Sedang apa kau di sini?”
Semestinya itu bukan pertanyaan yang sulit, namun entah kenapa Chris justru menunduk lambat-lambat dan membiarkan pertanyaan itu pergi tanpa membawa jawaban yang pasti.
Aku hendak kembali memintal pertanyaan serupa, namun disela.
“Mai?”
Aku menoleh dan mendapati Ve berdiri di sana dengan wajah yang terlihat lebih pucat dari sebelumnya.