Sometimes (Sepuluh)

Sometimes
Terkadang cinta harus menunggu…

Sepuluh

Jonathan

Sudah lewat puluhan menit semenjak Sam masuk ke kamarku. Dan selama itu, entah sudah berapa ratus kata yang terbang menyemarakkan kamar. Aku sendiri hanya duduk di pinggir ranjang dan mendengar. Aku tidak menyela meski ingin. Aku hanya diam dan meredam.

Sam jelas sekali bahagia. Gerak-geriknya tidak biasa. Matanya berpendar tak kalah terang dari bintang-bintang. Pulasan senyum cerah menang atas bibirnya yang merah. Aku memperhatikannya seluruh, dan terpaksa menelan ngilu.

Sam sedang berada dalam ‘nirwana’ sementara ia tidak tahu aku telah terpelosok jauh ke lubang ‘neraka’.

Sang waktu menjadi saksi bisu betapa patuhnya aku menampung aliran aksara yang tumpah dari mulut Sam. Sampai akhirnya ketika aku kehabisan cawan dan tidak sanggup lagi menampung, aku pun bersuara dengan rangup.

“Sam, aku kantuk. Aku ingin tidur.”

Sam terdiam. Ia mencari-cari mataku namun aku menyembunyikannya dan mengelak menjauh. Kemudian dari sudut mata, aku melihat Sam mengangguk.

“Baiklah,” ucap Sam, “selamat malam.” Ia pun menarik langkah menuju pintu.

Aku mengangkat wajah dan menatap punggung Sam dengan bimbang. Desah napasku susah payah menyentuh udara. Saat akhirnya Sam benar-benar berlalu, aku pun menunduk. Aku kira aku akan membaik setelah Sam berlalu, namun aku keliru. Sakit sudah melebur menjadi benalu yang hidup di setiap jengkal tubuh.

Aku menghampiri meja belajar. Ke satu titik tanganku kemudian menyambar. Di atas lembaran kertas aku memudarkan semua warna. Di atasnya, kejujuran lalu tumpah-ruah.

Pagi ini bukan milikku
Meski kepada mentari aku merayu
Kudekap teduh sedaya upaya
Namun hampa melahap serakah
Kepadaku, tak satu pun berbalik arah

Pagi ini bukan milikku
Saat rumput basah membisikkan sesuatu
Di sabana luas berselimut embun
Ada mereka tengah melepas rindu
Aku pun meluruh dirajam cemburu

Pagi ini bukan milikku
Semenjak mereka terikat satu
Sudah dari dulu pagiku dirampas waktu
Sisa yang kupunya hanya sejilid buku
Dengan halaman penuh debu dan sendu

Ini bukan pagiku
Ini pagi mereka….

 

Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi. Di depan cermin aku berdiri menemui diriku sendiri. Di san aku berbicara seorang diri.

“Ini, kan yang kau mau?” aku bertanya sendiri. Aku mendengus, lalu menatap remeh. “Mari lihat seberapa jauh kau mampu berjalan di atas beling yang kausemaikan sendiri,” tantangku merendahkan.

Aku terus menatap dan wajah tersiksa yang terpantul di sana membuatku kesal. “Sial!” aku menumbuk kaca di depanku dengan berang. Kaca itu meraung, namun tetap saja ia pecah. Sayangnya di setiap ujung amarah harus ada tumbal yang terluka. Kali ini tanganku.

Aku mengemis, tetapi ketenangan terlalu angkuh untuk memberi, meski telah ditawar dengan darah.

Aku jatuh terduduk di atas lantai basah. Tak kuhiraukan tanganku yang berlumuran darah. Akan kubiarkan darah terus bersimbah jika segalanya bisa berubah. Karena hanya ada satu alasan untuk semuanya.

“Tuhan, aku mencintainya…”

 

***

 

Magentha

Aku berjalan di sepanjang koridor sekolah. Di dekat ujung koridor, aku bertolak ke kanan, hendak masuk ke ruang kelas. Akan tetapi, alih-alih melangkah masuk, aku justru mematung di dekat pintu saat melihat Jo menyusup keluar. Jo selalu saja berhasil menyita perhatianku. Matanya. Langkah tenangnya. Rupanya. Semuanya. Namun kali ini lebih dari itu. Jejas-jejas di tangan kanannya membuatku menahan napas dan tersentak ringan.

Kala ia hampir benar-benar melewatiku, aku menahannya dengan bertanya, “tanganmu kenapa?”

Jo berhenti melangkah. Aku dan Jo saling membelakangi. Punggung bertemu punggung. Lama seperti itu sampai akhirnya ia pergi tanpa bersuara selemah apa pun.

Aku adalah setumpuk debu. Terlihat, namun tidak sekalipun diinginkan. Akan langsung ditepis jauh-jauh begitu melekat. Hanya pantas bersanding dengan abu di sudut pembuangan.

Semua yang aku beri seperti ilusi. Di matanya aku tampak seperti merpati yang kehilangan bulu putih. Cacat dan tidak punya arti.

Aku menoleh ke kanan saat merasakan kehadiran seseorang. Di sana aku melihat Sam berdiri dan tersenyum seperti biasa.

Mungkin hanya bagi pria inilah merpati tanpa bulu tampak putih…

 

***

 

Vesselia

Aku tengah membaca buku saat Dru mendaratkan diri ke atas bangku di depanku. Aku tidak begitu peduli karena tempatnya memang di sana. Akan tetapi, saat ia mulai menggangguku dengan menusuk-nusuk lenganku memakai pulpen, aku jadi peduli dan mengangkat wajah.

“Berhenti menusuk-nusuk lenganky seperti itu,” kataku, namun ia tidak mengacuhkannya. Ia malah menusuk semakin gencar. “Percayalah, aku sedang membawa cutter,” beritahuku kemudian.

Dru berhenti dan tertawa. Aku kembali menaruh perhatian pada buku di depanku.

“Ve,”Dru memanggilku.

“Emh,” sahutku tanpa mengangkat wajah.

“Ve, bukumu itu tidak akan mati kalau aku tinggal sebentar.”

Aku mendengus. Dengan sedikit terpaksa aku mengangkat wajah lagi. Aku melihatnya tersenyum penuh arti. “Apa?” tanyaku curiga.

 

***

 

“Sedang apa di sini?” pertanyaan itu otomatis terlempar keluar ketika aku mendapati Jo ada di ruang UKS.

Jo mengangkat tubuhnya dari posisi tidur, lantas duduk di pinggir ranjang menghadap ke arahku. Ia menatapku lekat-lekat sejenak, lalu, “kau sendiri?” tanyanya.

Aku berjalan melewati Jo menuju lemari kaca di sudut ruangan. Sambil menyapukan mata ke seisi lemari itu dan mencatat di buku yang aku bawa, aku menjawab, “Dru minta tolong kepadaku untuk memeriksa persedian obat-obatan di UKS.”

Aku menoleh menatap Jo dan mengacungkan sebotol kapsul yang telah kehilangan label namanya. “Kau tahu namanya?” Jo menyebutkan sebaris abjad dan aku mencatatnya dengan cepat.

Aku masih sibuk memeriksa dan mencatat saat aku bertanya kepada Jo, “tanganmu kenapa?” Aku sudah menyadari ada yang tidak beres dengan tangan kanan Jo sejak pagi, namun belum sempat menanyakannya.

“Tidak apa-apa,” sahut Jo singkat, tampak jelas ia tidak mau membahasnya.

Aku meraih sebotol antiseptik dan segulung perban kemudian menghampiri Jo yang kebingungan memandangiku.

“Ulurkan tanganmu,” mintaku sambil membuka penutup botol antiseptik.

“Tanganku tidak apa-apa.”

Aku mendengus. “Apanya yang tidak apa-apa? Penuh luka begitu.” Karena Jo tak urung mengulurkan tangannya, akhirnya kuraih tangannya dengan paksa. “Lain kali jangan lagi menyiksa diri seperti ini.”

Jo sempat membeku di tempat walau akhirnya ia mengangguk kecil.

“Ve, soal foto itu…”

“Tenang saja. Aku tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun,” selaku. Aku mulai meneteskan antiseptik ke setiap luka di tangan Jo. Setelah itu, aku perban tangannya.

“Lalu soal perkataanmu di taman hiburan kemarin…”

“Aku bersungguh-sungguh,” aku menyela lagi tanpa berhenti memerbani tangan Jo.

“Ve, kau sudah tahu semuanya, kan? Sebaiknya kau…”

Aku mengangkat wajah dan menatap Jo. Sepasang telaga di sana selalu pantas untuk diselami. “Setiap manusia berhak mencintai, kan? Jadi, tolong jangan larang aku.”

 

***

 

Aku duduk di bangku taman sekolah sendirian, memperhatikan Jo dari kejauhan. Pria itu juga sedang duduk di bangku taman, seorang diri juga. Sebuah buku ada di dalam pegangannya. Matanya terarah lurus ke sana, namun aku tahu betul perhatiannya tidak benar-benar tercurah ke sana. Sejak aku mulai memperhatikannya, jemarinya tak sekali pun bergerak menyingkap halaman buku. Halaman buku itu tetap di tempatnya, hanya akan bergerak jika angin lewat.

Bermenit-menit berlalu, aku kira Jo akan terus begitu. Namun lalu ia bangkit dan berjalan menapaki bumi. Tidak ada yang menganggunya. Angin melepas langkahnya menuju sudut senja.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. Kupandangi senja yang pria itu tuju. Lalu aku mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu.

Aku mendengar dia kelu
Bersandar di tepi sudut sendu
Melepas hangat tak bernyawa
Terkulai lemah di ujung senja

Aku merasa dia bergerak
Melangkah di atas lapisan air retak
Mengecap manis janji sia-sia
Tersaruk payah di ujung senja

Aku melihat dia patah
Berluruhan diseret air mata
Menyentuh warna di batas maya
Terpojok tak berdaya di ujung senja

Perlahan-lahan dia mati
Di ujung senja….

1 thought on “Sometimes (Sepuluh)

Leave a comment